Selasa, 30 November 2010

CONTOH SIMULASI

Membutuhkan Hampir 150.000 Prosesor Untuk Menyamai Otak Kucing

IBM megungkapkan telah membangun otak artifisial (buatan) terbesar sepanjang sejarah. Sebuah program bernama Modha dengan milyaran neuron virtual. Program yang begitu besar dan untuk menjalankannya dibutuhkan salah satu superkomputer tercepat di dunia, Dawn, sebuah Blue Gene / P superkomputer di Lawrence Livermore National Laboratory (LLNL) di California.
Dawn berukuran satu acre yang terletak di lantai dua lab Simulasi Terascale Facility. Dia menggunakan memori sebesar 147.456 gigabyte dan 147.000 prosesor yang ditempatkan pada 10 rak komputer dan dihubungkan oleh ber mil-mil kabel. Dawn memerlukan satu juta watt listrik melalui kabel daya setebal pergelangan tangan, serta menggunakan 6.675 ton pendigin udara.

Dawn telah terinstal pada awal tahun ini oleh Department of Energy‘s National Nuclear Security Administration (NNSA), yang melakukan simulasi komputer terbesar untuk memastikan kesiapan senjata nuklir. Untuk semua spesifikasinya yang spektakuler, Dawn hanya mampu menjalankan Modha dengan 1,6 miliar neuron virtual hanya pada kecepatan 1/600 kecepatan otak kucing yang sebenarnya.

SIMULASI MEMPERHITUNGKAN BENCANA

uperkomputer di DKRZ mengkalkulasi model-model untuk skenario global IPCC dan simulasi regional Remo dengan 2 raster yang lebih halus. Model statistic Wettreg terbentuk pada PC. Tendensinya sama, yaitu bahwa bumi akan jauh lebih panas dibandingkan sekarang.

Sebelum sampai ke skenario masa depan, sebuah model harus mampu menampilkan masa lalu. Para peneliti iklim di Hamburg telah menghitung cuaca 500 tahun terakhir dengan kadar CO2 dan gas rumah kaca lainnya sebelum era industri untuk mendapatkan nilai awal bagi simulasi iklim abad ke-20/21. Apabila sebuah model tidak menghasilkan proses alam secara otomatis seperti El Nino, ia tidak berguna. Biasanya, model yang dikembangkan di seluruh dunia telah memenuhi syarat dan dapat menghasilkan nilai-nilai yang cocok dengan pemanasan bumi yang diperkirakan.
Tentu saja, dalam sebuah model, selalu ada faktor ketidakpastian. Faktor terbesar adalah perilaku manusia dan pengembanganbangan gas rumah kaca yang sebenarnya. Saat ini, emisi CO2 lebih besar daripada yang terurai secara alamiah. Hasil tepatnya baru dapat kita ketahui bila yang diperkirakan juga dapat kita amati. Namun, terlalu bodoh bila menunggu hingga sejauh itu.
Model-modelnya sendiri juga mengandung ketidakpastian. Untuk dapat mengkalkulasi iklim dengan komputer masa kini, model harus dijaga sesederhana mungkin karena kapasitas supercomputer juga terbatas. Dengan 24 simpul NEC-SX yang terdiri atas 192 CPU vektor dan 1,5 Terabyte RAM, supercomputer DKRZ memang dapat mencapai performa puncak 1,5 Teraflops. Namun, daya sebesar ini juga tidak lagi memadai. Banyak parameter yang perlu dimasukkan ke dalam kalkulasi, misalnya perubahan luas daratan. Dengan menyertakan variable perubahan luas daratan ini misalnya, menyusutnya luas hutan akan berdampak pada hasil siklus karbon. Semuanya menjadi sulit diprediksi. Efek kondisi alam saat ini secara teknis belum dapatdiperhitungkan.
Efeknya tidak global, tetapi local.

Sebuah masalah lainnya adalah bentuk raster yang kasar. Untuk model global, perkembangan dihitung melalui raster berukuran 200 x 200 km di sekitar ekuator dan 180 km di Eropa. Iklim disimulasikan dalam 31 lapisan ketinggian dengan jarak mulai beberapa ratus meter dan semakin ke atas semakin besar. Letak titik-titik raster yang terlalu jauh satu sama lain ini juga telah diketahui oleh Paula Midgley dari Komisi Koordinasi Jerman untuk IPCC. “Efek perubahan iklim tidak global, tetapi hanya regional atau bahkan lokal.” Agar suatu tempat tidak jatuh ke dalam raster yang salah dan kondisi alam mendapat peran yang pantas dalam perikliman, setidaknya kalkulasi harus dilakukan secara regional.
Kantor Federal untuk Lingkungan membagi tugas penelitian kepada ‘Remo’ di Max-Planck Institute Hamburg (MPI) dan ‘Wettreg’ di perusahaan Climate & Environment Consulting (CEC) di Potsdam. Berdasarkan skenario IPCC, MPI membagi seluruh Eropa ke dalam raster berukuran 50 km dan Jerman ke dalam kotak-kotak sebesar 10 km. Hasil kalkulasi ulangnya ternyata sangat bervariasi untuk berbagai daerah di Jerman. Dalam model global, variasi ini sama sekali tidak tampak. Hasil dari Wettreg juga mengejutkan. Namun, kejutan ini lebih karena digunakannya PC sebagai kalkulator iklim bukan hasil kalkulasinya. Bila para peneliti di Hamburg menggunakan sebuah model dinamis, di mana perubahan iklim hanya dikalkulasi dengan rumus-rumus fisika, CEC menggunakan metode statistik.
Prinsipnya relatif mudah. “Bila nilai High dan Low di atas Jerman berada pada posisi tertentu, dapat disimpulkan bahwa kondisi cuaca besar yang memiliki efek pada iklim. Ini adalah model statistik tanpa kalkulasi yang rumit,” kata Kreienkamp. Bukannya mengkalkulasi deret waktu yang panjang dengan superkomputer, CEC cukup mengambil data yang menarik dari data cuaca yang tersedia. Sumbernya adalah 1.695 stasiun pencatat hujan dan 282 stasiun pencatat iklim yang juga mengukur suhu, matahari, dan angin. Data-data ini digabungkan dengan hasil-hasil simulasi iklim global dan dikalkulasi kembali.
Musim panas yang panas membuat simulasi membentur batas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar